sumber: http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/05/27/apa-bedanya-orang-pelit-sama-orang-hemat-465412.htmlKesimpulanSi Hemat memangkas pengeluaran2 tidak berarti/tidak berguna tanpa ampun dan berfokus/memprioritaskan pada pengeluaran yang benar-benar berarti untuknya (setiap orang berbeda, silahkan identifikasi apa yang berarti untuk anda) sementara si Pelit memangkas semua pengeluaran membabi buta tanpa berpikir lebih dalam dan bahkan pada kasus ekstrem kalau bisa si Pelit ingin mendapat semuanya gratis.Si Hemat memiliki kontrol yang lebih besar atas pengeluarannya sendiri (majikan atas uangnya) dibanding si Pelit dan si tukang gengsi2an & ikut2an yang menjadi hamba dari materi dan uangnya.Uang dan barang pada akhirnya hanyalah alat untuk membantu (bukan melengkapi!) hidup kita bukan tujuan akhir itu sendiri dan tidak sepatutnya kita mengidentifikasikan diri kita dari apa yang kita pakai atau apa yang kita punya. Hanya karena kita sanggup membeli bukan berarti kita harus membeli.Putuskan dengan penuh kesadaran pengeluaran mana yang benar-benar berarti, penting dan bisa meningkatkan kualitas hidup anda, hindari sikap pasif yang dengan latah mengadopsi apapun yang dilempar perusahan2an ke pasar.Dulu kita dikenal sebagai manusia tapi di jaman yang serba materialistik dan konsumtif sekarang kita dikenal sebagai konsumen.
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.Sumber: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula . Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
Masuk pertama sekolah setelah liburan biasanya kita mempersiapkannya dengan yang baru atau paling tidak kita rawat (cuci,dsb). Yang rusak kita ganti dengan yang masih bisa dipakai dan Yang masih bisa kita bersihkan supaya enaaak dipakai nanti. Hal itu sering aku lakukan, biasanya yang aku tambahin itu polpen, penghapus, tape ex dan lain lain.Biasanya semua itu.. ILANG, entah kemana -_-, kadang keleleran di rumah, kadang juga ketinggalan di sekolah, yaa pokoknya rempong deeh.
Semua peralatan rasanya semua udah lengkap untuk dipakai di sekolah baru, penggaris,penghapus,polpen dll. Khusus Tape-Ex karena diRUSAK temeku akhirnya ya nyoba yg merk faber castell yang mungil berharga 19.000 (isi 2) karena pernah lihat temenku karena kyaknya smooth banget klo dia make. Hari hari selanjutnya saat aku sudah berseragam SMP rasanya tape ex baruku semakin hari semakin menipis, menipis... karena SELALU DIPINJAM temen baru aku, entah itu emang kebiasaan kayak gitu atau gimana atau gimana lagi, tp sebenarnya ndak dipinjam aja tp juga ++ alias diRUSAK pun jadi -___- *mungkin maklum belum pernah pegang tape ex se elite itu*, 2 bulan akhirnya.. HABIS, OMG gilee aja baru 2 bulan yaak 2 BULAN!! DUA BULAN!! DUA BULAN UDAH HABIS,OMG!! itupun dalam 2 bulan dikurangi dengan liburan 2 minggu, ini boros melebihi borosnya bangeet, 2 bulan udah habis rasanya MUSTAHIL.. soalnya aku ga pernah habis dalam waktu singkat walaupun mungil kyak gitu !!, yang bikin berkenan habisnya di tangan temenku juga!!! , bayangin deh dipinjem langsung abisss. GImana perasaan lo bro??!!
Okay.. tenang slow okay *tarik nafas jangan lupa buang* , karena isinya 2 jadi aku ganti yang baru.. , awalnya aku udah wanti wanti mulai saat ganti itu ._. , aku udah wanti wanti bangeet ''aduuh jangan banyak banyak'' ''iya ga banyak kok'' , ''OMG jangan banyak donkk'' ''ga kok'' mungkin kuucapkan ini setiap hari. okay emang kayaknya aku lupa bilang klo satu pinjem mereka ga main main klo nip-exe .. langsung sikat abiss DX, dan anehnya mereka biasa aja ! >.< sakit tauuk!!. Karena mungkin gimana gimana akhirnya saat pelajaran *** ada yang minta kertas A3 ke aku '' Minta kertas A3 nya yaa'' dalam hatiku aku udah ucap ya.. tp ''Jangan minta dia,dia pelit, ambil kertas A3ku aja'' omg rasanya gilee abis DX!! tersinggung kalikk aku!! dan rasanya saat guru nerangin materinya aku lihat tp pikiranku kesana kemari dengan ucapannya!!. Akhirnya Istirahat dan si yang tadi minta kertas A3 datang ke aku '' minta kertas A3nya ya'' ''ya, ini'' sambil ngasih ke dia , dalam pikiranku kenapa kok dia minta ke aku klo si dia yang bilang aku pelit minta yang bilang aku pelit aja.
Istirahat masih berjalan.. , tadi juga ada yg minta kertas A3 jadi totalnya 2, kemarin sebelum liburan ada yang minta kira kira 3 anak , okay.. fine. ''He aku itu pelit aa?'' ''nggak''ucap 2 anak ''pelitt'' yang ini aku udah tau jawabannya ga bener karena suka berantem.. maksudnya berantem bercanda mungkin drama kali eaak?. sambil makan aku tetap berfikir tentang itu... .
SBD pelajaran setelah *** , ini lagi ujian menggambar prespestik *lupa namanya apa*, kan butuh penebel dan saat itu aku emag sengaja bawa dan temenku pinjem yang tadi minta kertas saat istirahat, ''he pinjem he'' ''yo'' ''sek bro tak pake dulu'' ''sek a hee pelit ii arek iki'' ''bentar a laa'' , tunggu.. yang pinjem dan yang punya itu siapa sih?? lagian nanti kamu pake lagi klo udah selesai, apa masalahnya siiiihh !! .
Sampai saat ini (menulis cerita fakta ini) aku tetep mikirin hal ini, ini mungkin ga penting tapi penting banget untuk kehidupan sosial di sekolah.
Dan tape ex nya sekarang yang baru ganti udah mau habis juga ...
Jadi sebenarnya aku memang pelit?? Tolong saran dan pendapatnya :)
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Salah satu penyakit yang harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh adalah pelit (QS Al Hadid 57:23-24) karena ia adalah salah satu penyakit hati, penyakit perilaku dan penyakit masyarakat.
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf
Pelit, kikir atau dalam bahasa Arab disebut bakhil adalah tiadanya kehendak untuk membagi sebagian (kecil) harta seseorang dengan kalangan yang kurang beruntung secara materi yang umum disebut sebagai fakir miskin.
Sementara definisi orang pelit (bakhil) menurut Al Quran adalah orang yang tidak mau menafkahkan hartanya di jalan Allah (QS Muhammad 47:38). Yang dimaksud bernafkah di jalan Allah adalah zakat, terutama zakat harta, pada golongan yang berhak menerimanya (QS At Taubah 9:60) dan sadaqah yaitu pemberian di luar zakat dan tak terikat dengan persyaratan minimum.
Baik definisi pelit secara umum maupun versi Al Qur’an bertujuan sama: penekanan tentang buruknya perilaku pelit atau bakhil. Dan bahwa keburukan dari sikap pelit itu universal yang tidak hanya menurut pandangan agama, tapi juga sosial. Dalam masyarakat, orang kaya yang tidak mau berbagi akan mendapat “hukuman sosial” sesuai adat lokal setempat. Hukum sosial minimal adalah citra buruk orang tersebut di mata masyarakat sekitar. Apa gunanya hidup berkecukupan atau berlimpah apabila nama baik tercoreng?
Timbulnya sikap kikir pada umumnya dikarenakan adanya anggapan bahwa kita berhak seutuhnya atas harta yang kita dapatkan dari hasil jerih payah kita sendiri. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, kendati tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam realitas hidup, manusia memiliki kemampuan otak, fisik dan kesempatan yang tidak sama. Ada yang lemah, ada yang kuat; ada yang bodoh, ada yang jenius (QS An Nisa’ 4:34).
Konsekuensinya, perbedaan itu akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Termasuk perbedaan pendapatan dan kesuksesan materi. Pada waktu yang sama diperlukan keseimbangan relatif untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Pada poin inilah, mengapa Islam menekankan perlunya orang yang berkelebihan materi untuk berbuat baik (ihsan) dengan cara mau berbagi yang mana kebaikan itu pada dasarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri (QS Al Isra’ 17:7). Sebagaimana sikap pelit atau bakhil yang sebenarnya justru akan mencelakakan diri sendiri (QS Muhammad 47:38)
Dari uraian di atas jelas bahwa sikap kikir, pelit atau bakhil adalah salah satu perilaku yang anti-sosial dan tidak sesuai dengan spirit agama (QS Ali Imron 3:180; An Nisa’ 4:36; At Taubah 9:77).
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/08/pelit-dalam-islam/#sthash.LOVimNNC.dpuf



Tidak ada komentar:
Posting Komentar